"setelah 1 tahun cerita ini di post, akhirnya cerita ini memiliki judul ^^v. Terimakasih bagi yang udah membaca cerita saya ini. Saya tunggu komentarnya. Maaf kalo ada typo dalam penulisan. DON'T BE A PLAGIATOR! Ini murni cerita saya ^^"
Raut wajahnya sudah tidak sama seperti yang dulu. Namun pancaran keceriaan masih kentara di binar-binar matanya. Ya, pancaran keceriaan itulah yang selama 5 tahun belakangan ini aku rindukan.
Raut wajahnya sudah tidak sama seperti yang dulu. Namun pancaran keceriaan masih kentara di binar-binar matanya. Ya, pancaran keceriaan itulah yang selama 5 tahun belakangan ini aku rindukan.
Dia bukanlah orang yang berada,
bukan orang mapan, dan bukan pula orang yang berpendidikan tinggi. Dia berasal
dari keluarga yang mungkin orang banyak menyebutnya keluarga yang tidak mampu. Namun,
dari cara dia memandang kehhidupan ini orang-orang tidak akan menyangka kalau
dia berasal dari keluarga yang tidak mampu.
Dia merupakan orang yang senang
berbagi walaupun kalau difikir dengan akal sehat dan dari segi kehidupannya itu
tidaklah mungkin. Dia orang yang sangat saying kepada anak-anak. Dia orang yang
tidak mau mengharapkan belas kasihan dari ornag lain. Dia adalah orang yang
paling sering mengajrkan orang lain tentang dunia.
Banyak hal yang telah aku
dapatkan dari dirinya. Mulai dari cara tersenyum untuk menghadapi dunia yang
sangat kejam ini. Cara menghargai orang lain, mengalah, berbagi, dan tentu saja
memberi keceriaan dengan orang lain.
Dia sudah kuanggap sebagai bapak
kandungku sendiri. Pasti kalian bertanya, kemana bapakku?. Ya, itu pertanyaan
yang sering kuhadapi setiap kali aku menceritakan tentang dia. Bapak kandungku?
Kenapa aku menganggap dia orang yang secara biologis bukanlah bapakku? Itu semua
karena sesuatu hal yang telah ku kubur dalam didalam hidupku dan aku tidak mau
mengungkitnya kembali.
Disinalah sekarang aku berdiri. Ya,
aku beridri tepat didepannya. Aku tidak tahu apakah dia masih mengenalku atau
tidak. Aku segera memeluknya. Aku segera meluapkan segala rasa rinduku padanya.
Dia sepertinya kaget memang, sepertinya matanya sudah mulai rabun sehingga
tidak jelas melihat wajahku yang kini berada tepet didepan dirinya.
Namun itu bukan masalah yang
besar bagiku. Tetapi aku tidak menyangka dia masih mengenalku. Dia membalas
pelukanku, dia mengatakan kalau dia dangat ridu padaku. Aku sangat senang,
sangat senang.
Dia segera menyuruhku masuk
kedalam rumahnya, yang orang lain bilang sih itu bukan rumah tetapi itu kandang. Aku segera masuk. Tidak
ada yang berubah gumamku. Kami berbagi cerita, melewati hari malam bersama.
****
Tetapi saat kau terbangun, aku
melihat wajahnya pucat, aku memegang tangannya, tangannya dingin. Aku panik. Aku
mengguncang-guncang badannya. Aku berharap dia hanya kelelahan. Dia tetap tidak
terjaga. Aku menggendongnya, mengeluarkannya dari rumah. Berharap jika
menghirup uadara segar dia akan terbangun. Tapi tidak.
Aku memanggil pak mantri yang ada
disekitar rumahnya. Pak mantri memeriksanya, tapi pak mantri bilang dia sudah
pergi. Aku tidak menyangka. Aku menangis, bersedih, kesal, marah kepada diriku
sendiri. Ya, aku kesal, marah karena aku hanya dapat melewati 1 hari bersamanya.
Aku memakamkan jasadnya
Aku kembali terpuruk, tidak ada
penyangga. Seberapa kalipun aku mencoba bangkit aku tidak akan bisa. Karena penyangga
ku telah pergi bersama dia, dia yang telah tiada. Aku kembali kehilangan arah. Aku
tidak tahu arah tanpa dirimu.
Tanpa sadar aku tersenyum dan
berkata “iya”. Aku seperti mendengar bisikan “peganganmu bukanlah aku, tetapi
keinginan dan usaha mu. Bangitlah karena masih banyak yang membutuhkanmu”. Perlahan-lahan
aku bangkit dan sadar.
Terima kasih telah memberiku banyak
ilmu, engkau akan selau ku kenang di dalam tempat yang sangat special didalam
hidupku selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar