Kamis, 14 Juni 2012

Penyangga Ku

"setelah 1 tahun cerita ini di post, akhirnya cerita ini memiliki judul ^^v. Terimakasih bagi yang udah membaca cerita saya ini. Saya tunggu komentarnya. Maaf kalo ada typo dalam penulisan. DON'T BE A PLAGIATOR! Ini murni cerita saya ^^"

Raut wajahnya sudah tidak sama seperti yang dulu. Namun pancaran keceriaan masih kentara di binar-binar matanya. Ya, pancaran keceriaan itulah yang selama 5 tahun belakangan ini aku rindukan.

Dia bukanlah orang yang berada, bukan orang mapan, dan bukan pula orang yang berpendidikan tinggi. Dia berasal dari keluarga yang mungkin orang banyak menyebutnya keluarga yang tidak mampu. Namun, dari cara dia memandang kehhidupan ini orang-orang tidak akan menyangka kalau dia berasal dari keluarga yang tidak mampu.

Dia merupakan orang yang senang berbagi walaupun kalau difikir dengan akal sehat dan dari segi kehidupannya itu tidaklah mungkin. Dia orang yang sangat saying kepada anak-anak. Dia orang yang tidak mau mengharapkan belas kasihan dari ornag lain. Dia adalah orang yang paling sering mengajrkan orang lain tentang dunia.

Banyak hal yang telah aku dapatkan dari dirinya. Mulai dari cara tersenyum untuk menghadapi dunia yang sangat kejam ini. Cara menghargai orang lain, mengalah, berbagi, dan tentu saja memberi keceriaan dengan orang lain.


Dia sudah kuanggap sebagai bapak kandungku sendiri. Pasti kalian bertanya, kemana bapakku?. Ya, itu pertanyaan yang sering kuhadapi setiap kali aku menceritakan tentang dia. Bapak kandungku? Kenapa aku menganggap dia orang yang secara biologis bukanlah bapakku? Itu semua karena sesuatu hal yang telah ku kubur dalam didalam hidupku dan aku tidak mau mengungkitnya kembali.

Disinalah sekarang aku berdiri. Ya, aku beridri tepat didepannya. Aku tidak tahu apakah dia masih mengenalku atau tidak. Aku segera memeluknya. Aku segera meluapkan segala rasa rinduku padanya. Dia sepertinya kaget memang, sepertinya matanya sudah mulai rabun sehingga tidak jelas melihat wajahku yang kini berada tepet didepan dirinya.

Namun itu bukan masalah yang besar bagiku. Tetapi aku tidak menyangka dia masih mengenalku. Dia membalas pelukanku, dia mengatakan kalau dia dangat ridu padaku. Aku sangat senang, sangat senang.

Dia segera menyuruhku masuk kedalam rumahnya, yang orang lain bilang sih itu bukan  rumah tetapi itu kandang. Aku segera masuk. Tidak ada yang berubah gumamku. Kami berbagi cerita, melewati hari malam bersama.

****

Tetapi saat kau terbangun, aku melihat wajahnya pucat, aku memegang tangannya, tangannya dingin. Aku panik. Aku mengguncang-guncang badannya. Aku berharap dia hanya kelelahan. Dia tetap tidak terjaga. Aku menggendongnya, mengeluarkannya dari rumah. Berharap jika menghirup uadara segar dia akan terbangun. Tapi tidak.

Aku memanggil pak mantri yang ada disekitar rumahnya. Pak mantri memeriksanya, tapi pak mantri bilang dia sudah pergi. Aku tidak menyangka. Aku menangis, bersedih, kesal, marah kepada diriku sendiri. Ya, aku kesal, marah karena aku hanya dapat melewati 1 hari bersamanya.

Aku memakamkan jasadnya

Aku kembali terpuruk, tidak ada penyangga. Seberapa kalipun aku mencoba bangkit aku tidak akan bisa. Karena penyangga ku telah pergi bersama dia, dia yang telah tiada. Aku kembali kehilangan arah. Aku tidak tahu arah tanpa dirimu.

Tanpa sadar aku tersenyum dan berkata “iya”. Aku seperti mendengar bisikan “peganganmu bukanlah aku, tetapi keinginan dan usaha mu. Bangitlah karena masih banyak yang membutuhkanmu”. Perlahan-lahan aku bangkit dan sadar.

Terima kasih telah memberiku banyak ilmu, engkau akan selau ku kenang di dalam tempat yang sangat special didalam hidupku selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar